HUTAN RAWA GAMBUT ZAMRUD SIAK

21 02 2009

STRATEGI PENYELAMATAN DAN MASA DEPAN EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT ZAMRUD SIAK DITENGAH BALADA KEHANCURAN HUTAN RIAU

 

Oleh. Mangara Silalahi

(Pemenang Pertama Kategori Umum Penulisan Konservasi dan Masa Depan Hutan Rawa Gambut Zamrut- Kab. Siak, Kerjasama Pemda Siak dan Kagama Riau, Augustus 2007)

 1. PENDAHULUAN

Laju kerusakan hutan di Indonesia rata-rata 2,5 juta ha/tahun, sedangkan Riau memberi kontribusi rata-rata 150.000 ha pertahun kurun waktu 8 tahun sejak 1998-2006.  Laju kerusakan hutan tersebut tertutama disebabkan oleh penghancuran hutan secara legal maupun illegal. Saat ini kawasan hutan Riau yang mengalami degradasi yang cukup parah adalah kawasan hutan rawa gambut dan oleh karena itu akan terjadi kebakaran hutan dan lahan yang hebat setiap tahunnya. Indonesiapun dituduh sebagai negara perusak hutan tercepat dunia (Green peace 2007)  dan penyumbang emisi no 3 dunia.

Hutan Rawa gambut yang ada di  Riau merupakan  56,1 % dari total hutan rawa gambut di Indonesia ( 18,586 juta ha). Di Kabupaten Siak tepatnya di ekosistem hutan rawa gambut Zamrut merupakan bagian dari hutan rawa gambut di Riau.

Gbr.1. Kawasan Ekosistem hutan rawa Gambut Zamrut

map-articel-zamrut            Ekosistem hutan rawa gambut Zamrut  adalah kawasan hutan yang terdiri dari Suaka Marga Satwa (SM) Danau Pulau Besar/ Danau Bawah seluas 28.237.5 ha (berdasarkan analisis citra landsat TM  2005) dan kawasan penyangganya. Kawasan SM. Danau Pulau Besar/Bawah ditetapkan berdasarkan  SK. Mentan No. 846/Kpts/Um/II/1980 seluas 25.000 Ha), jo  SK. Menhutbun No. 668/Kpts-II/1999 Tgl. 26 Agustus 1999. Sedangkan di kawasan penyangga kawasan Zamrut terdapat HPH yaitu PT. National Timber Products, pemanfaatan HTI yaitu PT. Arara Abadi –Siak, PT. Ekawana Lestari Darma, PT. Balai Kayang Mandiri di Kabupaten Siak, HTI.  PT. Putra Riau Perkasa, HTI. PT RAPP,  dan HTI. CV. Bhakti Praja Mulia di Kabupaten Pelalawan. 

            Secara geografis ekosistem ini berada di Timur Provinsi Riau, tepatnya di Kabupaten Siak.  Kawasan hutan rawa gambut Zamrut berada di antara DAS Kampar dan DAS Siak, merupakan bagian dari Ekosistem hutan rawa Gambut Semenanjung Kampar, dan relatif lebih aman karena merupakan kawasan pelestarian alam.  Ekosistem ini memiliki dua keterwakilan tipe habitat yang berbeda yaitu hutan rawa gambut dan hutan rawa air tawar.

            Terdapat flora fauna yang memiliki tingkat biodiversiti yang tinggi dan diantaranya terancam punah dan dilindungi. Dengan berdasarkan berbagai penelitian dari para pakar yang meneliti habitat ekosistem Hutan rawa Gambut Semenanjung Kampar yang memiliki tipe dan habitat yang sama dengan  ekosistem Zamrut disimpulkan terdapat berbagai flora dengan dominasi  kayu Meranti (Shorea sp), Kempas (Koompassia malacensis Maig),  Bitangur (Galophyllum spp), balam (palagium sp), resak (Vatica wallichii), Punak (Tetrameristaglabra miq), Perupuk (Solenuspermun javanicus), Nipah (Nypa fruction), Rengas (Gluta rengas), Pandan (Pandanus sp), sagu hutan (Metroxylon sagu),  dll.  Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini masih relatif baik (Unit KSDA Riau, 2000; Tjut Johan Sugandawati et all, 2005, Percakapan pribadi Jonotoro, 2006).  Beberapa jenis diantaranya  dilindungi menurut IUCN, CITES dan Undang-Undang Pemerintah RI seperti sebagai berikut:

Tabel 1. Daftar Jenis Flora Dilindungi di kawasan Zamrut

No

Nama Jenis

Status

1

Gonystylus bancanus  Kurz (ramin)

Appendix II, Anotasi 1 (CITES) *

2

Shorea teysmaniana Dyer (meranti lilin)

EN A1 (IUCN) *

3

Vatica pauciflora  Blume (resak paya)

EN A1 (IUCN) *

4

Shorea platycarpa  Heim (meranti kait)

CR A1 Cd (IUCN) ***

5

Shorea albida Sym (meranti alan)

EN A1 (IUCN) **

6

Anisoptera marginata   Korth (mersawa)

EN A1 (IUCN) **

7

Shorea ovalis ssp ovalis  Blume (meranti sabut)

EN A1 (IUCN) **

8

Shorea uliginosa  Foxw (meranti bakau)

VU A1 Cd (IUCN) *

9

Koompassia malacensis Maig (Kempas)

EN A1 (IUCN) *

9

Cystostachys lakka  Becc (palem merah)

Peraturan Pemerintah Republik  Indonesia Nomor 7, tahun 1999 *

10

Nephentes  spp (kantung semar)

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 7, tahun 1999 *

Sumber Unit KSDA Riau, Tjut Johan Sugandawati et al, 2005, Jonotoro 2006.

            Terdapat fauna/satwa penting dan beberapa diantaranya dilindungi seperti   harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis),  harimau dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus),  dan napu (Tragulus napu). Terdapat beberapa jenis primata dan dilindungi seperti seperti monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), beruk (Macaca nemestrina), dan Kokah (Presbytis melalophos).  Terdapat berbagai jenis ikan seperti ikan toman, gabus, lele,  toman, silais, tapa, buju, patin, baung dan ada jenis ikan yang dilindungi seperti ikan arowana (Schleropages formosus). Selain itu, terdapat  Reptil yang dilindungi seperti  buaya sinyulong (Tomistoma Schlegelii) dan buaya muara (Crocodylus porosus).

            Di dalam dan sekitar kawasan Zamrut tidak ada pemukiman menetap, namun para nelayan sampai ke wilayah ini untuk mencari ikan. Walaupun masyarakat tidak ada yang bermukim, namun kawasan ini sangat penting dalam kebelangsungan hidup dan penyeimbang ekosistem di sekitarnya.  Menurut Kuniyasu (2002), bahwa 60 % penduduk di hutan rawa gambut bergantung pada hutan.  Kuniyasu melakukan penelitian di ekosistem hutan rawa gambut Kerumutan dan Semenanjung Kampar .

Di kawasan Penyangga terdapat pemanfaatan oleh perusahaan HPH, dan HTI. Umumnya kegiatan ini sangat eksploitatif terutama kegiatan HTI. Perusahaan.  HTI telah membuka kanal-kanal di kawasan penyangga, jika tidak dapat dikelola secara baik akan berdampak buruk pada kawasan ekosistem ini yaitu akan mengeluarkan pyrite-zat asam, nutrien, dan melepas karbon sehingga berdampak rusaknya ekosistem ini dan pemanasan global. Selain itu jika water table menurun, intrusi air laut  akan terjadi sehingga flora dan fauna akan hilang dan menjadi kawasan yang sangat kritis.  Ancaman lainnya adalah aktivitas pencurian/penangakapan ikan di dalam kawasan oleh masyarakat sekitar kawasan.

Permasalahan utama bagi penyelamatan kawasan ini adalah luasan yang kurang memadai bagi pengelolaan kawasan suaka alam (KSA),  tidak viable population untuk spesies kunci, pengelolaan yang tidak instensif, kurangnya perhatian dari berbagai kalangan, belum adanya sinergisitas dan pengelolaan secara terpadu dikawasan penyangganya, dan pencurian flora dan fauna.

 

2. FUNGSI DAN MANFAAT EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT

            Gambut mulai gencar dibicarakan orang sejak sepuluh tahun terakhir, ketika dunia mulai menyadari bahwa sumberdaya alam ini  tidak hanya sekedar berfungsi sebagai pengatur  hidrologi, sarana konservasi keanekaragaman hayati, tempat budi daya, dan sumber energi;  tetapi juga memiliki peran yang lebih besar sebagai pengendali perubahan iklim global  karena kemampuannya dalam menyerap dan menyimpan cadangan karbon dunia. Beriktu ini tersaji manfaat hutan rawa gambut tabel 2.

Tabel 2.   Tipe Manfaat Hutan Rawa Gambut

Kategori

Deskripsi

Pemanfaatan Langsung

Perikanan

Perairan di lahan gambut merupakan habitat berbagai jenis ikan tawar yang khas termasuk yang memiliki nilai komersial, seperti: ikan arwana, ikan gabus Chana sp., Lele Clarias sp., Betok Anabas testudineus, Sepat Trichogaster sp., dan Tambakan Helostoma sp.  . Perikanan di lahan gambut berpotensi sebagai sumber mata pencaharian bagi masyarakat di sekitarnya

Transportasi

Sebagaimana pada habitat lahan basah lainnya, sungai yang mengalir di lahan gambut merupakan jalan transportasi utama bagi masyarakat di sekitarnya dalam memanfaatakan hasil hutan

Sumber daya hutan

Meskipun hutan rawa gambut luasnya menyusut dengan cepat, berbagai hasil hutan yang berbentuk kayu dan non-kayu telah lama dimanfaatakan dengan berbagai tingkatan dan memberikan kontribusi bagi perekonomian masyarakat setempat. Jenis kayu komersial yang mempunyai ekonomis tinggi antara lain: seperti Ramin (Gonystylus bancanus), Jelutung (Dyera costulata), dan Meranti (Shorea spp.). Adanya kecenderungan penurunan, baik kualitas maupun kuantitas sumber daya hutan rawa gambut mendesak perlunya dukungan bagi masyarakat setempat untuk mencari alternatif sumber penghidupan lainnya.

Pengaturan Hidrologi

Pengaturan banjir dan aliran air

Lahan gambut berfungsi sebagai daerah penangkap air yang berlimpah pada saat banjir dan kemudian melepaskannya pada saat musim kering

Mencegah masuknya air asin

Lahan gambut dapat menyediakan sumber air bagi kegiatan pertanian sekaligus mencegah masuknya (intrusi) air asin.

Sumber pasokan air

Di wilayah pedesaan, lahan gambut boleh jadi merupakan satu-satunya sumber air tawar yang dapat dimanfaatkan untuk keperluan sehari-hari maupun untuk irigasi pertanian

Keanekaragaman hayati

Sumber plasma nutfah

Lahan gambut merupakan sumber plasma nutfah penting bagi berbagai jenis yang khas, terutama di lahan gambut yang merupakan peralihan atau kombinasi dengan hutan rawa air tawar dan hutan mangrove

Habitat tumbuhan

Ratusan jenis tumbuhan telah tercatat di lahan gambut di Indonesia, dimana beberapa diantaranya merupakan jenis tumbuhan yang memiliki nilai penting ekonomis yang tinggi

Habitat hidupan liar

Lahan gambut menyediakan habitat bagi berbagai jenis hidupan liar, termasuk jenis-jenis yang langka dan endemik. Termasuk diantaranya adalah Buaya Muara, Harimau Sumatera, Siamang, Orang Utan dan berbagai jenis burung Rangkong

Stabilisasi iklim

Sekuestrasi (menambat) karbon

Hutan rawa gambut yang sehat mampu secara aktif mengakumulasikan karbon, sehingga kemudian dapat mengurangi pengaruh gas rumah kaca

Penyimpanan karbon

Lahan gambut dapat menyimpan karbon dalam jumlah yang sangat besar. Kerusakan lahan gambut yang diakibatkan oleh pembakaran dan pengeringan gambut akan mengacu kepada emisi karbon dalam jumlah yang sangat besar pula. Selama terjadinya kebakaran di Indonesia pada tahun 1997, diperkirakan antara 0,81 – 2,57 Gigaton karbon dilepaskan ke atmosfir. Jumlah tersebut setara dengan 13 – 40% dari rata-rata emisi karbon global tahunan yang berasal dari bahan bakar fosil.

Pengaturan iklim

Kehadiran hutan gambut serta air tawar dalam jumlah sangat besar yang terkandung dalam gambut akan berpengaruh terhadap iklim dalam skala mikro. Selain itu, vegetasi di hutan gambut juga dapat berperan sebagai pemecah angin dan peredam panas. Dataran rendah yang berhutan juga nampaknya akan mengundang hujan lebih banyak dibandingkan lahan yang gundul

Penelitian dan pendidikan

Adanya berbagai keunikan dari fungsi dan atribut di lahan gambut, akan merupakan subyek yang menarik untuk diteliti dari berbagai disiplin ilmu sekaligus dapat digunakan sebagai wahana pendidikan

Nilai sosial-budaya

Bagi masyarakat tertentu, hutan rawa gambut merupakan tempat yang khas, unik dan memiliki peran penting dalam kehidupan mereka.

 

Sumber; Presentasi Wetland International 2007 dalam Seminar Penyelamatan ekosistem Hutan Rawa Gambut Semenjanjung Kampar.

 

3. KONDISI EKSISTING DAN PENGELOLAANNYA

            Kabupaten Siak seluas 855.609 ha, terdiri dari kawasan perlindungan bawahnya seluas 30.200 ha, perlindungan setempat 357,90 ha, KSA seluas 91.640 ha,  kawasan Pelestarian alam 920,60 ha, kawasan HP 334.639 ha   dan Kawasan APL  seluas 388.852,40 ha. Berdasarkan data ini maka kawasan hutan alam Siak yang dipertahankan hanya 15, 44% (Dishut Riau, 2003). Salah satu yang menjadi KSA adalah kawasan Zamrut, berdasarkan citra landsat TM 2005, bahwa kondisi kawasan Zamrud relatif lebih aman. Namun di sekitar kawasan atau disebut sebagai daerah penyangga terdapat berbagai aktivitas perusahaan. Ada perusahaan HPH yaitu PT. National Timber & Forest Products, pola HPH ini masih bisa mengkontrol dan mendukung pengelolaan konservasi SM. Danau Pulau Besar Danau bawah karena  pegambilan kayu dengan selected cutting  atau pemanfaatannya terbatas. Namun yang lebih berbahaya adalah pengelolaan HTI yang berbatasan langsung dengan kawasan Zamrut,  seperti HTI Arara-abadi maupun HTI lainnya. Bahayanya adalah jenis tumbuhan HTI yang ditanam adalah akasia yang merupakan introduce tree, jenis tanaman ini penyebarannya secara massive melalui angin maupun di bawa binatang.  Ke depan tumbuhan akasia akan masuk ke dalam KSA dan bisa mendominasi kawasan ini seperti Taman Nasional Baluran.

            Karena statusnya Suaka Marga Satwa, pengelolaan kawasan ini dibawah KSDA Riau. Jumlah sarana dan prasarana yang diturunkan untuk mengamankan wilayah ini sangat minim.  Selain itu, karena kawasan ini berstatus SM; maka kawasan ini hanya diperuntukkan untuk suaka alam dan penelitian. Padahal kawasan SM ini memiliki potensi sumberdaya fauna seperti ikan  yang dimanfaatkan oleh masyarakat serta pemanfaatan terbatas lainnya.

 

4. KONDISI  YANG DIHARAPKAN: EKOSISTEM TAMAN NASIONAL ZAMRUT

            Kondisi kedepan yang diinginkan dalam pengelolaan Kawasan Zamrut adalah bahwa kawasan ini perlu dikelola secara khusus dengan jumlah sarana dan prasarana cukup dan atau memadai. Kemudian karena adanya kepentingan masyarakat terhadap kawasan ini terutama untuk mencari ikan dan kepentingan pemanfaatan lain, maka kawasan ini sebaiknya ditingkatkan statusnya menjadi Taman Nasional. Hal ini senada dengan usulan Pemerintah Siak terhadap kawasan ini menjadi Taman Nasional Zamrut.  Impian dari Pemerintah Daerah Siak adalah bahwa kawasan ini dapat diamankan dan dikelola secara intensif sehingga selain ada fungsi pelestarian tetapi ada fungsi pemanfaatan. Kalau kawasan meningkat statusnya menjadi taman nasional, maka sudah ada pengelola khusus yaitu Balai Taman Nasional Zamrut yang personilnya dan peralatannya sudah lebih banyak dan memadai. Selain itu, kawasan taman nasional dapat dilakukan zonasi yaitu zona pemanfaatan bagi pengelolaan wisata dan rekreasi, zona pemanfaatan tradisional bagi kepentingan nelayan, zona rimba bagi kepentingan penelitian dan Zona inti yang merupakan zona suaka.

            Kalau hal ini terjadi, maka sebaiknya daerah penyangga dikawasan Taman Nasional Zamrut, minimal 1 km seperti apa yang dikatakan oleh ekolog Hooijer’s (2005) untuk buffer kawasan HTI dengan hutan alam minimal dengan lebar 1 km. Selain itu, sebagai sebuah kawasan konservasi yang luasnya hanya 28.237,5 ha sangat kecil dan kurang layak dikelola menjadi taman nasional, sebaiknya diperluas pada kawasan HPH PT. National Timber & Forest Product di wilayah Siak  menjadi 53.237,5 ha dan menyambungkannya ke daerah konservasi lainnya. Disisi lain, karena di dalam kawasan Zamrut terdapat harimau sumatera  yang menjadi spesies kunci, harus ada jaminan terhadap keberlangungan populasi ini dalam jangka panjang  dan jumlah minimum populasi untuk bertahan hidup (viable population). Kalau tidak maka spesies kunci seperti harimau sumatera akan punah karena terjadi gen resesif yaitu kawin antar sesama dan dalam waktu 50 tahun akan punah. Untuk itu perlu, perluasan dan koridor penghubung (biologi) ke kawasan konservasi lainnya atau dengan mempertahankan hutan alam di peyangganya oleh perusahaan. Dengan demikian Bentuk taman nasional yang ideal ke depannya adalah lebih kurang 53.237,5 ha ditambah dengan koridor biologi kearah kawasan KSA lainnya ditambah dengan kawasan High Conservation Value Forest (HCVF) bagi perusahaan HTI di sekitarnya.

 

5.  JENIS DAN SUMBER ANCAMAN

Ancaman Spesifik di Lahan Gambut

Ancaman utama di Kawasan Hutan Rawa Gambut Zamrut adalah ancaman terhadap kestabilan hidrologi kawasan rawa gambut itu sendiri. Jika stabilitas hidrologi sudah terganggu dibawah water table berlanjut hingga gambut kering takbalik maka akan menstimulan ancaman-ancaman lain seperti kebakaran gambut, kehilangan keanekaragaman hayati, masyarakat kehilangan sumber mata pencaharian sebagai nelayan dan pertanian. Jika terjadi kebakaran maka akan akan terjadi pelepasan karbon ke udara sehingga mempengaruhi “pemanasan global”.

Selain itu lahan gambut mengandung senyawa pyrite (FeS2), pada kondisi tergenang senyawa itu akan stabil, namun bila teroksidasi maka akan menimbulkan masalah, seperti turunnya kualitas air dan berakibat negatip terhadap biota yang ada. Jika lahan gambut dibuka sehingga permukaan air (water tabel) turun hingga mencapai permukaan pyrite, maka akan menyebabkan peracunan terhadap tumbuhan (Noor, 2001), selain itu juga akan mudahnya pohon tumbang akibat subsident serta rawan kebakaran. 

 

Jenis dan sumber ancaman yang aktual adalah :

  1. Ancaman terhadap kestabilan hidrologi kawasan dan sifat hydrophobicity yang ada pada lahan gambut: sumber ancaman pembuatan kanal oleh perusahaan HTI dan HPH. Dampaknya: kanal akan mengeringkan lahan gambut sehingga fungsi reservoar air akan terganggu. Gambut tidak dapat menyerap air selama musim hujan dan melepas air selama musim kering, Pada kondisi lahan gambut kering ancaman lainnya adalah intrusi air laut terutama di wilayah pesisir Kampar. Konversi hutan di lahan gambut untuk Akasia akan mengganggu sumber cadangan air tawar dimasa depan.
  2. Ancaman terhadap keanekaragaman hayati: sumber ancaman pembuatan infastruktur oleh perusahaan di kawasan penyangga, sebagai jalan bagi pencuri keanekaragaman hayati dan pencurian satwa dilindungi.
  3. Ancaman terhadap kegiatan sosial, ekonomi, dan budaya masyarakat setempat: kehilangan sumberdaya ekonomi, hilangnya kepercayaan terhadap jenis dan tumbuhan serta satwa di dalam kawasan Zamrut.
  4. Konflik antara satwa khususnya harimau dan manusia akan terjadi karena terbatasnya luasan dan habitat serta mangsa harimau sumatera.
  5. Para pendatang, khususnya pekerja perusahaan umumnya melakukan praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya flora dan fauna, sebagai misal, mengambil ikan secara massive seperti jenis fotasium atau setrum memakai energi listrik.

 

Jenis dan sumber ancaman potensial:

  1. Ancaman umum terhadap kerusakan keseluruhan ekosistem rawa gambut Zamrut akibat Kebijakan konversi Vs Kebijakan konservasi (Pemberian Ijin Konversi di kawasan lindung di sekitar SM).
  2. Kontroversi RTRWP (Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi) dan RTRK (Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten) tidak selaras dan tidak terpadunya RTRW.
  3. Menurunnya spesies kunci: apabila kawasan ekosistem Zamrut hanya seluas 28.237,5 ha, dan tidak ada koridor atau hutan alam lainnya terselamatkan dapat dipastikan jenis dan spesies kunci ini akan punah
  4. Ancaman dari zat peracun tanaman (Pyrite): Lahan gambut yang mencapai subsident akibat reklamasi lahan akan meningkatkan unsur Pyrite di lahan gambut. Pyrite ini bersifat racun bagi tanaman dan menimbulkan hama bagi petani. Selain itu,  pyrite yang keluar ke sungai-sungai berdampak pada menurunnya hasil tangkapan ikan bagi penduduk di sekitarnya.

 

6.  IDENTIFIKASI STAKEHOLDER

Yang dimaksud stakeholder disini adalah para pihak yang berkepentingan terhadap kawasan Zamrut baik secara langsung maupun tidak langsung.  Stakeholder langsung adalah  Pemerintah (pusat, provinsi dan kabupaten), Swasta (seperti perusahaan HPH, perushaaan HTI bahkan perusahaan perkebunan), Masyarakat dan Perguruan tinggi karena kepentingan pengelolaan, pemanfaatan dan penelitian.  Sedangkan stakeholder tidak langsung terdiri LSM, Legislatif, dan Media Massa karena terkait dengan upaya pengelolaan dan penyelamatan kawasan ekosistem hutan rawa gambut Zamrut.  Semua stakeholder harusnya saling bersinergi dan memberi perannannya dalam penyelamatan kawasan tersebut.

 

6.      STRATEGI PENYELAMATAN EKOSISTEM HUTAN RAWA GAMBUT ZAMRUT DAN PELUANG PENGELOLAAN KE DEPAN

Mengingat pentingnya kawasan Zamrut dilihat dari fungsi kawasan dan ancamannya di masa mendatang tidak hanya terhadap kawasan sekitar namun juga bagi keberlangsungan pembangunan di Kabupaten Siak, bahkan  terhadap bumi ini maka kami mengusulkan suatu konsep strategi penyelamatan kawasan tersebut sebagai berikut:

 

Goal Penyelamatan :

“Pengelolaan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Zamrut (TN Zamrut dan daerah penyangganya)  secara  yang terpadu dan berkelanjutan”

Objektif Penyelamatan ::

§         Peningkatan status SM Danau Besar Pulau Bawah menjadi Taman Nasional Zamrut

§         Usulan Perluasan Taman Nasional Zambut dan Koridor penguhubugn (biologi)

§         Pengelolaan berkelanjutan yang mendukung kawasan konservasi secara kolaboratif

Untuk mencapai goal dan objective tersebut di atas, beberapa strategi yang dapat dilakukan  adalah sebagai berikut:

 

Objektif 1, stategi yang dilakukan:

1.      Pengusulan Peningkatan Status SM Danau Besar Pulau Bawah menjadi Taman Nasional Zamrut ke Departement Kehutanan: telah dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten Siak.

2.      Mendapatkan dukungan dari kalangan Legislatif, akademisi, Perusahaan, NGO dan masyarakat dalam rangka peningkatan status menjadi Taman Nasional

3.      Mendapatkan dukungan dari pemerintah provinsi dan legislatif dalam upaya peningkatan status SM Danau Besar Pulau Bawah menjadi Taman Nasional Zamrut

4.      Melakukan lobby ke Departemen Kehutanan untuk memproses peningkatan status menjadi Taman nasional Zamrut.

5.      Publikasi umum melalui media : local, nasional hingga internasional untuk mendorong tim teknis peningkatan status SM. menjadi Taman Nasional Zamrut

6.      Memfasilitasi  dam memberi masukan kepada tim terpadu peningkatan status  SM Danau Besar Pulau Bawah menjadi Taman Nasional Zamrut

7.      Rapat Teknis Peningkatan Status TN Zamrut: Hasilnya akan turun Sk Peningkatan Status TN Zamrut dari Menhut RI

8.      Memfasilitasi tata batas hingga menyusun Rencana Pengelolaan TN Zamrut

 

Objective 2, strategi yang dilakukan:

1.      Penguatan informasi dan kajian akademik (kerjasama dengan LIPI, UNRI., UNILAK, IPB) bagi perluasan TN Zamrut (Areal PT. National Timber & Product)  sebagai alat lobby dan advokasi untuk dijadikan perluasan TN Zamrut

2.      Melakukan Kajian Koridor Biologi dengan LIPI/Universitas dalam rangka upaya perluasan dan Koridor biologi.

3.      Mendapatkan dukungan dari akademis, NGO  dan masyarakat serta  perusahaan HPH National Timber dan Forest Producs serta PT RAPP dan PT. ARARA ABADI

4.      Membuat konsep dan pengusulan perluasan TN Zamrut dengan basis akademic

5.      Advokasi dan lobby ke stakeholders untuk mendorong dan mendapatkan dukungan formal perluasan  dari pihak berwenang (Pemprov. Riau dan pemkab Siak)

6.      Kampanye public mendorong perluasan TN Zamrut

7.      Memfasilitasi berbagai pertemuan teknis, rapat-rapat khusus membahas perluasan TN Zamrut.

8.      Mendorong pembentukan dan memfasilitiasi tim teknis perluasan TN Zamrut : sehingga dilahirkan SK baru perluasan

9.      Memfasilitati tata batas ulang berdasarkan perluasan, melakukan zonasi dan membuat rencana pengelolaan yang baru berdasarkan SK Baru

 

Objective 3, strategi yang dilakukan:  

1.      Melindungi kawasan hutan bernilai konservasi tinggi (High ConservationValue Forest/HCVF) dalam kawasan budidaya khususnya bagi kawasan HTI diatas. Untuk PT ARARA Abadi harus menghutan alamkan kembali kawasan yang menjadi daerah penyangga TN Zamrut, sebagai kawasan HCVF, sedangkan bagi perusahaan grup RAPP telah melakukannya serta menyediakan koridor biologi.

2.      Mendorong penerapan praktek-praktek berkelanjutan dalam pemanfaatan kawasan hutan produksi dan kawasan budidaya

3.      Peningkatan kapasitas stakeholders dalam mendorong pengelolaan di kawasan TN dan daerah penyangga  

4.      Mengelola dan mengembangkan TN menjadi pusat laboratrium alam dan kegiatan ekowisata

5.      Meningkatkan status  menjadi kawasan biodiversity, carbon storage dan unique ecosystem melalui skema CDM (Clean Development Mechanism)

6.      Mengusulkan Carbon Trade ke Negara-negara penghasil emisi terbesar dunia

Jika tercapainya strategi diatas maka keuntungan potensial yang bisa diperoleh adalah :

          Kredibilitas pemda kabupaten dan provinsi di mata dunia international semakin baik karena ikut bertanggungjawab dalam meminimalkan dampak pemanasan global, menyelamatkan ekosistem unik dan sumber genetik hutan rawa gambut.

          Mengurangi kebakaran hutan dan lahan

          Mewariskan sumber daya alam yang terjaga untuk generasi dunia mendatang,

          Berpeluang untuk mengikuti skema perlindungan dan perdagangan karbon sesuai dengan mekanisme pasar yang ada.

          Pembangunan HTI, perkebunan dan pertanian masyarakat akan berkelanjutan.

Biografri Penulis

  1. penulis adalah aktivis lingkungan dan pemerhati social, tinggal di pekanbaru
  2. Selama 4 tahun bekerja di WWF Indonesia dari tahun 1998-2001
  3. Sebagai direktur Yayasan Aam Sumatera 2001- sekarang
  4. Sebagai Fasilitator Wilayah Riau Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat 2003- sekarang
  5. Menjadi lead local ekspert program Teresterian Bukit Tigapuluh ”Kerjasama Kerajaan Norwegia dan Kementerian Lingkungan Hidup RI
  6. Menjadi Panel Pakar Re-Sertifikasi LEI PT. Diamon Raya Timber
  7. Ekspert HCVF (High Conservation Value Forest pada WWF Indonesia dan IPB)
  8. Kontak : 0812 754 8750

 

 

Daftar Pustaka

 

Birdlife International Red Data Book:  Threatened Birds of Asia. http://www.rdb.or.id/index.html

Depsos RI, 1996. Laporan Suku Terasing di Provinsi Riau. Jakarta

CITES Species database. http://www.cites.org/index.html

Holmes, Derk & Rombang, William M. 2001. Daerah Penting Bagi Burung: Sumatra. Bird life International-Indonesia Programme. Bogor

Jennings, S., and J. Jarvie (with input from Nigel Dudley and Ketut Deddy). 2003. Case study – preliminary spatial analysis of biological HCVFs in Riau in A Sourcebook for Landscape Analysis of High Conservation Value Forests, Version 1. ProForest and WWF International, May 2003.Jonotoro, 2005. Aspek Biofisik Hutan rawa Gambut Semenanjung Kampar. Jikalahari. Pekanbaru

Kuniyasu, Momose, and Shimamura T. (2002). Environments and People of Sumatran Peat Swamp forest II: Distribution of Villagers and Interaction Between People and Forests. South East Asian Studies, Vol.40, N0 1 June 2002 Pages 87-108.

Kurniawan, S dan Maharmansyar. Februari 2005. Study Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Semenanjung Kampar Kabupaten Siak. Jikalahari, Pekanbaru-Riau

Hardiono, M., Jonotoro, and Zulfahmi (2003). Identification of “Wasteland” in Riau. (WWF – Indonesia; AREAS Riau Programme: Jakarta) as cited in ProForest. 2006. HCVF Assessment of Two Concessions in Teso Nilo: Findings and Management Recommendations. Part 3: Appendices. August 2006. 156pp

Istomo, 2005. Keseimbangan Hara dan Karbon Dalam Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan. IPB. Bogor

IUCN Red List. http://www.iucnredlist.org/.                                  

Ng Tian Peng & Ibrahim, 2001. Common Trees in Peat Swamp Forests of Peninsular Malaysia. FRIM, Kepong, Kuala Lumpur. Malaysia.

ProForest  2005. Landscape-Level assessment of hydrological & ecological values in the Kampar Peninsular ProForest. December 2005. 42pp.

Rainforest Alliance SmartWood Program. 2005.  High Conservation Value Forest (HCVF) Assessment Report for Serapung Unit, February 2005. 88pp.

Rainforest Alliance, and ProForest. 2003. Identifying, Managing, and Monitoring High Conservation Value Forests in Indonesia:  A Toolkit for Forest Managers and other Stakeholders, page 4

Sheperd, Chris R dan Magnus, Nolan. 2004. Where to hide: The trade In Sumatra Tiger. TrafficSoutheast Asia. Malaysia

Silalahi, Mangara dan Goklan Sitorus (1999), Laporan Studi Persiapan Pemberdayaan Pendidikan suku Hutan di desa Selat Akar dan Desa Penyengat, Kecamatan, Siak. WWF TNBT Project ID 117, Riau

World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, 2003.  Eight High Conservation Forest Blocks In Riau Province.

World Wildlife Fund (WWF) Indonesia and Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia. Fact Sheet:  Tiger Conservation Landscape Report: Indonesia. 2pp.

Yayasan Alam Sumatra dan Yayasan WWF Indonesia. 2005. Laporan Akhir Investigasi Perburuan dan Perdagangan Harimau Sumatera dan Bagian Tubuhnya di provinsi Riau. Tidak dipublikasikan. Pekanbaru

 

 





Survey Tata Ruang INHU-KUANSING

6 12 2008

Upaya Penyelamatan Hutan Alam

Di Koridor Biologi SM. Bukit Rimbang Bukit Baling-TN. Bukit Tigapuluh

 

cover-trPada Tahun 2004 sampai pertengahan 2005 Yayasan Alam Sumatera (YASA) melakukan aktifitas penyelamatan koridor biologi yang menghubungkan Taman Nasional Bukit Tigapuluh (TNBT) dengan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling di Propinsi Riau. Kawasan tersebut merupakan bagian dari sebuah visi landscape ekosistem Tessonilo-Bukit Tigapuluh yang juga merupakan visi dari aktivis lingkungan Riau dan Jambi.

Kegiatan utama dari program ini yaitu:

         Fasilitasi atau konsultasi proses legislasi Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten (RTRWK) di Kabupaten Kuantan Singingi dimana memaksimalkan tutupan hutan alam yang menghubungkan Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Baling, HL Bukit Batabuh, dan tutupan hutan produksi di bagian tenggara HL Bukit Batabuh sampai ke HPH PT IFA di Kabupaten Indragiri Hulu.

         Advokasi dan konsultasi penyempurnaan RTRWK di Kabupaten Indragiri Hulu yang mengembalikan status kawasan hutan di konsesi PT IFA sebagai kawasan hutan produksi terbatas, serta penegasan terhadap Hutan Lindung Bukit Sosah yang berada di dalam konsesi HPH tersebut.

Sedangkan tujuan spesifik yang ingin dicapai yaitu:

        Memastikan RTRWK Kuantan Singingi dan Indragiri Hulu memberikan  arahan terpeliharanya tutupan hutan alam yang menghubungkan koridor biologis mulai dari TNBT Sampai SM BRBB.

        Memastikan terjalinnya komunikasi dan komitmen dari pihak-pihak terkait: Pemerintah Kabupaten Kuantan Singingi, Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu, Perusahaan HTI, masyarakat setempat, dan LSM untuk mewujudkan koridor biologi yang menghubungkan TNBT – SM BRBB.

Tesso Landscape Vision 2015

landscape-tnbt-mapSetelah dilakukan rangkaian kegiatan yang didukung oleh Yayasan WWF Indonesia diperoleh hasil yang memuaskan diantarannya:

         Terkumpulnya informasi terakhir mengenai rencana kegiatan konversi hutan alam di HPH PT IFA tersedia yang dipresentasikan kepada pihak-pihak terkait di Pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu.

         Informasi dan hasil kajian tentang aspek sosial ekonomi, lingkungan dan keruangan telah dilakukan dan dapat dijadikan dasar argumentasi yang kuat di dalam ekspose konsep koridor biologi

         Hasil analisis perijinan terhadap IUPHHKT di awasan IFA dan juga terkait dengan PT. TBS di HL. Bukit Batabuh.

         Berdasarkan lobbi internal, pemda INHU memahami konsep yang diajukan tentang konsep koridor dan mempertahankan hutan alam.

         Ada indikasi penyempurnaan RTRWK Kuansing melalui revisi Tata Ruang pada tahun 2005-2006. Hasil kajian dan analissi YASA juga  menjadi masukan penting bagi Bappeda Kabupaten INHU dan Provinsi Riau.

         Pemerintah Provinsi, Kabupaten INHU dan Kuansing memiliki komitmen untuk menyelamatkan hutan alam di koridor biologi SM. Bukit Rimbang Bukit Baling. Dan sedang mengupayakan integrasi RTRWK Kuansing dan INHU dengan draft  RTRWP Provinsi Riau 2001-2011.

         Kajian menyeluruh beberapa aspek terkait dengan koridor yang akan dikembangkan dan dibangun dari TNBT-SM Bukit Rimbang Bukit Baling.

         Adanya dukungan Jikalahari, ATTR dan Konsorsium Bukit Tigapuluh serta Radio Mandiri FM untuk mendorong koridor lansekap Tessonilo Bukit Tigapuluh.

        Konsultasi dan Dialog publik yang lebih besar di INHU yang melibatkan Bappeda Provinsi Riau/Kabupaten Inhu, Akademisi, ATTR, WWF Indonesia Program Oil Palm Moduler, tokoh masyarakat Inhu.

 

Notes: Untuk membaca laporan lengkap, silahkan buka/unduh Laporan Akhir Kondisi Dan Kajian Koridor Taman Nasional Bukit Tigapuluh Suaka Margasatwa Bukit Rimbang Bukit Baling (PDF file, 15 Mb) by Mangara Silalahi.

 





Laporan Investigasi Harimau Sumatra

2 12 2008

Maraknya Perburuan dan Perdagangan Harimau Sumatera di Propinsi Riau

 

cover-investigasi-harimau-05Harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) merupakan satwa langka yang masuk pada Apendix I dalam kategori Cites yang merupakan kategori spesies kritis terancam punah (critically endangered species). Hewan ini diperkirakan tinggal 400-500 ekor di seluruh Sumatera.

Perburuan illegal merupakan ancaman terbesar harimau sumatera, tetapi tidak kalah pentingnya, perburuan ini di picu beberapa hal:

 

         Perdagangan bagian tubuh harimau yang marak di black market dengan nilai jual yang sangat tinggi.

         Tingkat deforestasi yang tinggi menyebabkan habitat asli harimau sumatera terusik dan masuk ke pemukiman penduduk.

Untuk menyikapi hal tersebut Yayasan Alam Sumatera (YASA) atas dukungan dari yayasan WWF Indonesia pada tahun 2005 melaksanakan kegiatan investigasi yang dilatarbelakangi oleh beberapa hal:

         Harimau Sumatera merupakan satwa langka yang masuk pada Apendix I dalam kategori Cites yang merupakan kategori spesies kritis terancam punah (critically endangered species).

         Terjadinya perburuan illegal terhadap harimau sumatera

         Maraknya perdagangan satwa liar khususnya Harimau Sumatra di Riau. Riau daerah yang strategis untuk pemasaran, penyelundupan/perdangangan satwa yang dilindungi karena dekat dengan Malaysia dan Singapura

         Terjadinya konflik antara manusia dan satwa sehingga terjadi pembunuhan terhadap satwa ini

         Tingginya nilai ekonomis bagian tubuh harimau

Sehingga secara umum tujuan investigasi bermaksud untuk memetakan aktivitas perburuan dan jaringan perdagangan harimau sumatera khususnya di provinsi Riau, serta mengumpulkan data keberadaan harimau sumatera dari masyarakat dan konflik manusia dengan satwa yang terjadi kawasan tersebut.

Hasil analisis dari pelaksanaan kegiatan investigasi yang dilaksanakan oleh Yasa dengan mengeluarkan beberapa rekomendasi yaitu secara umum perlu dilakukan suatu upaya dari semua pihak untuk menghadang terjadinya ancaman kepunahan terhadap harimau sumatera, tidak terkecuali terhadap satwa lain yang juga terancam punah seperti badak dan gajah. Selain itu beberapa hal yang juga menjadi rekomendasi:

·        Perlu dilakukan pemantauan perburuan dan perdagangan harimau sumatera secara kontinyu sebagai upaya pengendalian terhadap ancaman kepunahan

·        Perlu dibentuk sebuah jaringan khusus yang mampu memonitor kejahatan terhadap satwa dan juga berfungsi sebagai wadah yang menampung dan mengumpulkan informasi tentang satwa.

·        Perlu dilakukan upaya menempatkan informan-informan lokal sebagai langkah awal pemantauan perburuan dan perdagangan terhadap satwa dilindungi.

·        Kampanye dan publikasi anti perburuan harimau sumatera.

·        Perlu dilakukan usaha meningkatkan kesadaran masyarakat untuk mempertahankan ekosistem alam dan penyadaran tentang arti pentingnya konservasi

·        Perlu dilakukan pemutusan jalur perdagangan harimau sumatera dan bagian tubuhnya dengan penerapan hukum yang jelas.

 

 

Notes: Untuk mendapatkan laporan lengkap hasil Investigasi silahkan buka/unduh Laporan Akhir Investigasi Perburuan dan Perdagangan Harimau Sumatera dan Bagian Tubuhnya di Propinsi Riau by Nemora dkk. Laporan ini sengaja diedit ulang untuk menyamarkan nama pelaku (nama pelaku dihilangkan) agar tidak terjadi penyalahgunaan data.





EKOSISTEM RAWA GAMBUT KERUMUTAN

1 12 2008

EKOSISTEM RAWA GAMBUT KERUMUTAN:

EKOSISTEM UNIK – MEMILIKI PERANAN SANGAT PENTING,

NAMUN  GENTING KRITIS

 

 Disarikan oleh: Yayasan Alam Sumatera (Mangara Silalahi)

Kontribusi dari pihak: Jikalahari, WWF Riau, KKI-WARSI, WALHI Riau, Kisho Khumar Jeyaraz, Jonotoro dan Zulfira Warta.

 

  1. Batasan dan Defenisi Ekosistem Hutan Rawa Gambut Kerumutan atau di sebut Kerumutan Lanscape

Kerumutan Lanscape adalah hamparan kawasan yang terdiri dari kawasan inti (Suaka Margasatwa Kerumutan seluas 93.223 ha, Kawasan lindung gambut (areal perluasan potensial) seluas 52.213 ha, dan kawasan bukan inti atau intervensi (yang mempunyai pengaruh dan dampak terhadap penyelamatan ekosistem hutan Rawa Gambut Kerumutan) seluas 1,176,734 ha. Total luas Kerumutan Landscape adalah 1.322.169 ha (berdasarkan perhitungan dan analisis citra landsat). Kerumutan Lanscape berada di Pulau Sumatera Bagian Tengah, lihat pada gambar 1 no.9. Ekosistem hutan rawa gambut Kerumutan memiliki fungsi konservatori air, gudang karbon, habitat bagi satwa penting secara regionally khususnya harimau sumatera (Sanderson, et. Al, 2006), dilindungi dan endemic, maka keberadaan Kerumutan Lanscape penting untuk dipertahankan. 

Gambar 1. Lokasi dan Blok hutan di Kerumutan Lanscape

kerumutan-article-map1

Kerumutan landscape merupakan bagian dari landscape Tesonilo – Bukit Tigapuluh yang diinisiasi oleh LSM di Riau dan Jambi sejak tahun 2002. Hutan pada landscape tersebut sangat penting dipertahankan selain sebagai penyeimbang ekologi dan diyakini dapat berfungsi sebagai koridor bagi satwa tertentu agar viable. Gambar Lanscape Tesonilo-Bukti Tigapuluh dan tutupan hutan tersisa dapat dilihat pada gambar 2. Kalau dilihat dari sebaran gambut yang ada di Sumatera, Riau memiliki kawasan gambut terluas atau hampir 2/3nya. Di Riau hutan Rawa Gambut Kerumutan relative lebih aman dan terluas (lihat gambar 4). Sedangkan di Kampar Peninsula, saat ini sebagian besar hutan rawa gambut tersebut dalam proses degradasi dan fragmentasi oleh group perusahaan rakasasa Pulp and paper APP/APRIL dan perkebunan kelapa sawit.

Gambar 2. Kondisi tutupan hutan di Riau dan Lanscape Tesonilo-Bukit Tigapuluh

kerumutan-article-map2

 

Batas Kerumutan Lanscape adalah Sungai Indragiri, Sungai Kampar, Pantai Timur Pulau Sumatera dan Jalan Lintas Timur Pulau Sumatera. Kerumutan Lanscape berada pada 3 kabupaten yaitu Kabupaten Pelalawan, Inhu dan Inhil, provinsi Riau (lihat pada gambar 3 yang berwarna pink, hijau dan kuning).  Di kawasan intervensi terdapat pemanfaatan kawasan hutan dan lahan oleh berbagai pihak seperti HPH, HTI, Perkebunan Kelapa Sawit, perladangan masyarakat, nelayan, pengambilan kayu mangrove dan berbagai aktivitas pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah.

Pada Kerumutan Lanscape terdapat dua masyarakat asli minoritas (indigenouse people) yaitu : suku Duanu dan Petalangan. Disamping itu, terdapat masyarakat Melayu Pesisir dan migran. Jumlah penduduk yang bergantung pada Kerumutan Lanscape yang terdata minimal 5.405 Keluarga atau 27.025 jiwa (Kecamatan Kerumutan dan Kecamatan Teluk Meranti 2005, Kecamatan Simpang Gaung 2000, dan survey lapangan 2005).  Masih perlu pendataan dan udate lebih lanjut untuk kependudukan di wilayah ini. 

Gambar 3. Kerumutan Lanscape

kerumutan-article-map3

 

 

1. 1. Kawasan Inti (SM. Kerumutan) dan Kawasan Lindung Gambut

Kawasan inti (SM. Kerumutan) ditetapkan sebagai kawasan lindung berdasarkan SK Menteri Pertanian No. 350/Kpts/II/6/1979. Saat ditunjuk luasnya sekitar 120.000 ha, setelah ditata batas  menjadi 92.000 ha dengan tambahan lahan pengganti sehingga menjadi 93.222 ha.  Ekosistem SM. Kerumutan merupakan hutan hujan dataran rendah dan hutan rawa dengan topografi datar.

Kawasan SM Kerumutan  terletak  di antara 102° 24′ – 102° 38′ BT dan   0° 11′ LU – 0° 19′ LS. Kawasan SM Kerumutan secara administrasi berada di Kabupaten Pelalawan, Indragiri Hulu, dan  Indragiri Hilir.  Pengelolaan wilayah kerja seksi konservasi wilayah I BKSDA Riau. Jarak tempuh ke wilayah ini dari Pekanbaru 4 jam baik melalui darat dan atau air,  dan 1.5 jam dari Rengat melalui air/ sungai.

            Di sebelah Selatan dan Barat terdapat kawasan rawa gambut berstatus sebagai kawasan lindung gambut. Namun di sebelah Barat kawasan tersebut telah dimiliki oleh PT Mitra Kembang Selaras, Merbau Pelalawan Lestari untuk HTI. Saat ini WWF sedang mendorong perusahaan tersebut untuk menyisakan kawasan hutan yang bernilai konservasi tinggi (HCVF). Kawasan lindung gambut yang ada disebelah Selatan dengan total luasan  52.213 ha berpotensi untuk diperluas. Saat ini kawasan tersebut tidak ada pemegang konsesi, namun melihat gambaran di atas dan kebijakan pemerintah yang cenderung eksploitatif, besar kemungkinan akan mengalami nasib yang sama dengan kawasan lindung gambut di sebelah Barat. Oleh karena itu, dalam waktu dekat kawasan ini harus diadvokasikan dan didorong menjadi kawasan perluasan SM. Kerumutan.

            Berdasarkan analisis awal, kondisi kedalaman gambut, hidrologi, potensi flora fauna serta kondisi sosial budaya pada kawasan lindung gambut tersebut tidak berbeda secara signifikan dengan kawasan SM Kerumutan (gambar 4. citra landsat Kerumutan Lanscape TM Image 2005-2006). Oleh karena itu, gambaran dibawah ini secara umum menggambarkan kawasan inti dan kawasan perluasan.

 

Gambar 4 Citra Landsat kerumutan Lanscape  TM Image Nov 11, 2005 dan Aug 3, 2006

kerumutan-article-map4

 

1.1.1. Flora Fauna

            Di Kerumutan Landscape ditemukan keberadaan harimau Sumatera sebagai bagian kecil dari penyebaran dan habitat harimau Sumatera (lihat Gambar 1, nomor 9). Kawasan dan hutan ini kalau dilihat masih menyatu dengan kawasan hutan di Kampar Peninsula, untuk satwa harimau Sumatera, sungai Kampar tidak menjadi pembatas karena harimau bisa berenang.

            Menurut Sunarto, ekosistem hutan rawa gambut Kerumutan memiliki potensi penting di antaranya sebagai habitat harimau Sumatera, meskipun informasi tentang ini belum banyak terungkap (percakapan pribadi, 2006). Dengan mengacu pada tiger conservation lanscape (Sanderson, et.al, 2006),  Kerumutan landscape jauh lebih penting dari Bukit Tigapuluh karena luasan hutan masih memadai dan menyambung dengan lanscape di sekitarnya dengan total lebih dari 100.000 ha. Namun masih terlalu dini untuk menyimpulkan, sepantasnya  perlu dilakukan inventarisasi lebih detail. 

Program konservasi harimau Sumatera WWF-Indonesia, saat ini masih melakukan survei di daerah Kerumutan dengan menempatkan 20 pasang kamera pengintai otomatis (camera trap) pada 20 lokasi. Dalam dua bulan terakhir, dua tim dari WWF Indonesia ini telah mendapatkan bukti adanya harimau melalui foto.  Beberapa pengetahuan tentang satwa di daerah ini sangat terbatas sekali. Birdlife International mencatat ada beberapa spesies burung yang terancam punah, sebagaimana tercantum dalam beberapa literatur seperti National Conservation Plan. Informasi dari beberapa sumber menyatakan bahwa di kawasan lansekap ini pernah ditemukan satwa besar gajah sumatera.

Hasil  Review of rapid internal HCV assessment oleh WWF Indonesia tehadap FMU joint operation PT RAPP (2005) mengungkapkan, beberapa satwa penting dalam kawasan selain harimau Sumatera (Panthera tigris sumatrensis) adalah harimau dahan (Neofelis nebulosa), beruang madu (Helarctos malayanus malayanus), burung enggang (Buceros rhinoceros), monyet ekor panjang (Macaca fascicularis), kuntul putih (Egretta intermedia), ikan arowana (Schleropages formosus), itik liar (Cairina scutulata) dan buaya sinyulong. SM. Kerumutan juga merupakan wilayah singgah burung migran dan merupakan kawasan Importan Bird Area (IBA)  dan  Endangered Bird Area (EBA). 

            Kawasan SM Kerumutan dan Kawasan lindung gambut ini merupakan bagian dari Ecoregion 85 (Sumatran Peatswamp Forest). Mengacu peta Wetland International, ketebalan gambutnya besar sekali, dengan kedalaman yang berbeda-beda namun 95 % lebih dari 4 meter (lihat gambar 5). Ada perbedaan kedalaman gambut dipeta dengan kondisi lapangan dan untuk membuktikannya harus ada survey. Fungsi kawasan gambut tidak tergantikan fungsinya oleh HTI. Dampaknya di antaranya sifat gambut cepat mengeluarkan air secara horizontal (kering), terjadi kebakaran, pohon mudah roboh jika angin kuat.  Aspek ekonomi, perusahaan akan mengalami kegagalan dalam pengelolaan HTI (akasia) pada tahap daur ulang ketiga dan seterusnya (Percakapan pribadi Jonotoro, 2006)

            Tingkat biodiversiti di Kawasan ini masih tinggi artinya kondisi kawasan masih bagus, bisa juga dilihat dari kondisi di peta citra landsat di atas dan adanya temuan dari kantung semar (Nephentes Spp).  Menurut IUCN ada beberapa jenis spesies tumbuhan yang statusnya endemik di antaranya ramin, dan jenis diptereocarpaceae.  Selain itu, ditemukan tumbuhan dominan di kawasan ini seperti : Meranti (Shorea sp), Punak (Tetrameristaglabra miq), Perupuk (Solenuspermun javanicus), Nipah (Nypa fruction), Rengas (Gluta rengas), Pandan (Pandanus sp) dll.  Hal ini menunjukkan bahwa kawasan ini masih relatif baik (Percakapan pribadi Jonotoro, 2006)

 

Gambar 5. Ketebalan gambut di Kerumutan Lanscape

kerumutan-article-map5

 

1.1.2 Hidroologi

            Kerumutan lanscape berada diantara DAS Indragiri dan DAS Kampar. Beberapa SUBDAS yaitu s. Kerumutan, S. Merbau, s. Mengkuang, s. Batang Rengat, dan s. Gaung. Berbicara tentang gambut, tidak lepas dari hidrologi.  Perlu di jelaskan juga bagaimana proses terjadinya rawa gambut? Kawasan merah pada gambar 4 merupakan hutan rawa gambut dengan ketebalan 4 meter. Formasi hutan rawa gambut terjadi dalam kurun waktu 10.000 – 40.000 tahun. Kawasan ini adalah cekungan dan air tidak bisa keluar dari bawah tanah, jika air masuk maka tidak bisa keluar, kondisi udara juga tidak ada, sekitar 5.000 tahun usianya, maka permukaan akan naik. Lama-kelamaan 5000 hingga 6000 tahun hutan rawa gambut secara bertahap akan tumbuh. Karena air tidak keluar dan terjadi pembusukan kayu, maka dari sinilah sumber nutrien. Kalau kawasan rawa gambut dibuka, maka air dan nutriennya akan keluar, dan yang akan terjadi adalah kawasan rawa gambut akan dangkal dan unsur hara sangat sedikit. Lama-kelamaan akan terjadi penurunan tanah, unsur harapun sangat miskin dan tumbuhan yang hidup sangat sedikit, gersang dan tidak akan ada hewan yang bisa hidup, mungkin yang ada hanya tikus dan kodok. Lebih jauh, jika hal tersebut terjadi, fungsi gambut tidak berfungsi sebagai reservoar air lagi dan akan terjadi intusi air laut.

            Di samping itu, pelepasan karbon akan tinggi dan lapisan ozon akan menipis serta mempengaruhi pemanasan global. Oleh karena itu, hutan rawa gambut harus dipertahankan karena sebagai gudang karbon. Kalaupun dieksploitasi, bagaimana memanagement kawasan rawa gambut  untuk bisa mempertahankan water table. Contohnya untuk membangun perkebunan seharusnya kita merendahkan air dari permukaan tanah sekurang-kurangnya 100cm dan dapat mengatur air. Itulah konsep paling penting dalam konservasi rawa yaitu strategi untuk mengurangkan air, menghindari kebakaran dengan buffer yang kita buat (percakapan pribadi Kisho Khumar Jerayaz, 2006).

 

1.1.3 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya

            Data dan informasi detail serta terkini memang sangat minim, ada beberapa hasil penelitian dan laporan yang dikompilasi yang dapat memberikan gambaran awal. Di kawasan SM Kerumutan terdapat suku asli minoritas (berdasarkan defenisi pertemuan Suku Asli Minoritas Indonesia di Jambi, 2005)  yaitu Suku Petalangan. Suku Petalangan adalah suku perbatinan  yang tersebar hingga ke wilayah Sorek dan Tesonilo. Sedangkan suku Duanu seperti yang di sebut di atas tinggal dan menetap di bibir pantai Timur Sumatera (di kawasan intervensi).

            Saat ini identitas Petalangan mulai kabur dan kurang populer, mereka lebih cenderung mengaku sebagai suku Melayu perbatinan, Petalangan memiliki makna lebih rendah dibandingkan Melayu. Hal ini terkait dengan sejarah dan kekuasaan politik pada jaman Kerajaan Pelalawan, di mana suku Melayu yang umumnya berpangkat Tengku memiliki stratifikasi sosial yang lebih tinggi dari Petalangan. Ada 29 pebatinan dan kepenghuluan yang dikenal pada jaman kerajaan Pelalawan. Berdasarkan Tennas Effendi (1995), Yoserizal (1999) batin dan penghulu yang berkuasa semasa Kerajaan Pelalawan berjumlah 29 orang yang masing-masing memiliki tanah wilayat, yaitu :

1. Batin Bunut                                              16. Batin Baru

2. Batin Telayap                                           17. Batin Delik

3. Batin Tua Napuh                                      18. Batin Pelabi

4. Batin Panduk                                           19. Batin Geringging

5. Batin Lalang                                             20. Penghulu Biduanda

6. Batin Muncak Rantau                              21. Penghulu Besar langgam

7. Batin Merbau                                           22. Penghulu Sungai Buluh

8. Batin Pematan                                         23. Penghulu serapung

9. Batin Senggerih (Pengaturan)                 24. Penghulu Bandar Tolam

10. Batin Tanah Air (sulu di Laut)                25. Penghulu Seta Diraja

11. Batin Payung                                         26. Penghulu Lubuk Keranji

12. Batin Kerinci                                          27. Raja Bilang Bungsu

13. Batin Putih                                             28. Patih Jambuono

14. Batin Muda                                             29. Setia Diraja

15. Batin Pendaguh

           

            Suku Petalangan yang berada di dalam SM Kerumutan  membuat bagan-bagan sebagai tempat menginap ketika mencari ikan. Umumnya 2/3 waktunya akan dihabiskan di bagan-bagan dan hanya 1/3 dari waktu mereka menetap di desa. Suku Petalangan yang pergi ke SM Kerumutan sekitar 100 KK, selebihnya mereka membuat kebun di luar SM Kerumutan.

            Untuk desa Kerumutan dan Teluk Meranti termasuk dalam kepenghuluan Setia Diraja yang saat ini termasuk dalam kecamatan Teluk Meranti pecahan dari Kuala Kampar yang ibukota kecamatannya Penyalai.  Ada dua desa yang termasuk dalam SM Kerumutan yaitu Desa Kerumutan dan desa Teluk Meranti.

             

1.2. Kondisi Kawasan Intervensi

            Di kawasan intervensi terdapat penggunaan hutan dan lahan untuk HPH, HTI, perkebunan, dan areal penggunaan lain oleh masyarakat. Pola pemanfaatan hutan dan lahan dapat dilihat pada gambar 6, dimana areal berwarna biru merupakan pemanfaatan untuk HTI, areal berwarna kuning merupakan pemanfaatan untuk perkebunan, areal berwarna merah merupakan pemanfaatan untuk HPH dan yang berwana putih umumnya merupakan areal penggunaan lain.  Penggunaan hutan dan lahan di kawasan intervensi sebagai berikut:

  1. HPH yaitu : PT. Mutiara Sabuk Katulistiwa, PT. Bara Induk, PT. Dexter Kencana Timber.
  2. perusahaan HTI  seperti: Mitra Kembang Selaras, PT.Merbau Pelalawan lestari, PT. Arara Abadi, PT. Mitra Tani Nusa Sejati,  PT. Rimba Mutiara Permai, PT RAPP, PT. Sarana Abadi Utama. Ada beberapa perusahaan yang sedang dalam proses mendapatkan ijin defenitif yaitu: PT. Bukit Raya Pelalawan, PT Soegih Lestari, dan PT Panca Sarana Selaras.
  3. Perusahaan kelapa sawit : PT. Sari lembah Subur, PT. Gandaerah Hendana, PT. Multi Gambut Industri, KUD Tesso Sepakat, PT Surya Buana Bersama, PT Saduekcitra, Mekar Sari Alam Lestari, PT. Duet Rija, dan Koperasi Sawit Redang Seko.
  4. Pemanfaatan mangrove dan pantai untuk mencari kerang-kerangan dan ikan oleh suku Duano di pantai Timur Pulau Sumatera.
  5. Penggunaan lain oleh masyarakat berupa lahan untuk pertanian dan perkebunan.

            Pola pemanfaatan ruang di kawasan intervensi sangat tidak sinnkron dalam mempertahankan SM. Kerumutan dan dikhawatirkan akan berdampak besar pada kerusakan ekosistem hutan rawa gambut Kerumutan (lihat peta di gambar 6.). Pada hal bebeapa kawasan yang telah dimiliki perusaaan HPH/HTI di atas memiliki potensi dan kekayaan yang tidak berbeda secara signifkan.

            Sedikitnya ada sekitar 24 desa yang berdekatan atau disebut desa penyangga, 4 desa masuk Kecamatan Kerumutan dan 9 desa di Kecamatan  Teluk Meranti Kabupaten Pelalawan, 2 Desa di Kecamatan Lirik, 7 Desa di Kecamatan Rengat dan Rengat Barat Kabupaten Indragiri Hulu, 2 Desa di Kecamatan Simpang Gaung Kabupaten Indragiri Hilir.

            Di sekitar SM Kerumutan dan kawasan lindung gambut terdapat masyarakat Petalangan, Melayu dan migran. Ada beberapa desa interaksi utama yang dihuni oleh masyarakat Petalangan yaitu desa Kerumutan, Teluk Meranti, Teluk Binjai, Petodaan, Kuala Panduk, Pulau Muda dan desa-desa di sekitar perkebunan kelapa sawit PT. Sari Lembah Subur. Suku Petalangan ini juga menyebut dirinya Melayu Perbatinan yang tersebar dari Kuala Kampar, Bunut, Sorek hingga wilayah Taman Nasional Tesonilo.

            Di desa yang berdekatan dengan SM. Kerumutan seperti Desa Kerumutan, Teluk Meranti, Teluk Binjai, Petodaan dan Kuala Panduk sekitar 60% mereka ikut bekerja pada sektor Nelayan. Menurut Kuniyasu (2002), bahwa 60 % penduduk di hutan rawa gambut (termasuk SM. Kerumutan) bergantung pada hutan. Hutan merupakan sumber pangan, sumber protein, sumber obat-obatatan, sumber perumahan dan membuat sampan serta sumber pendapatan uang kas.

Gambar 6. Pola pemanfaatan ruang di kawasan intervensi

kerumutan-article-map6

 

            Masyarakat yang berada di Kabupaten Indragiri Hulu, sebagian besar bertani, sebagian kecil sebagai nelayan. Sedangkan masyarakat yang ada di kabupaten INHIl tepatnya disepanjang sungai Gaung sebagain besar mereka petani, sebelum ada razia illegal logging hampir 80 % bekerja. Khusus suku Duano atau Orang Laut secara spesialisasi memanfaatkan pantai yang panjang untuk mendpatkan biota pantai seperti kerang-kerangan, tripang dan ikan sebagai sumber hidup. Mereka terspesialisasikan dalam pemanfaatan sumberdaya ikan dan kerang-kerangan di Pantai Timur Pulau Sumatera dan erat kaitannya dengan keberadaan mangrove sebagai tempat berkembang biaknya biota pantai. Selain itu beberapa keluarga dari mereka memanfaatkan kayu mangrove da menjualnya ke dapur arang. Wilayah mereka terutama di Kecamatan Mandah dan berbaur dengan suku Melayu.

             Pemerintah saat ini telah membangun jalan dari Sorek-Teluk Meranti dan Guntung. Dapat dipastikan bahwa pembangunan jalan ini akan memberikan tekanan terhadap ekosistem hutan rawa gambut Kerumutan. Selain itu terdapat juga kanal-kanal dan jalan yang dibangun perusahaan, bahkan ada beberapa kanal dan jalan yang berdekatan dengan kawasan SM. Kerumutan. Akses-akses ini diyakini akan memberi pengaruh dan tekanan besar terhdap kawasan inti.

 

1. 3 . Ancaman Terhadap Ekosistem Hutan Rawa Gambut Kerumutan

1.3.1. Di dalam kawasan SM. Kerumutan

            Berdasarkan intensitas dan tingkat keterancamannya, ada beberapa kegiatan yang mengancam keberadaan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Kerumutan yaitu:

1.      Illegal logging: sumber ancaman berupa:

§        Lemahnya penegakan hukum akibat dari korupsi, perangkap perundangan yang kurang lengkap dan kurangnya sumberdaya (personil dan dana).

§         Adanya akses seperti sungai, kanal, jalan HTI dan rel HPH

§         Ketimpangan supplay dan demand

§         Kemiskinan masyarakat 

         Selain itu, di kawasan intervensi kegiatan illegal logging juga diidentifikasi akibat tidak konsistennya kebijakan dengan status kawasan yang ada. Ancaman illegal logging ini juga terjadi di kawasan perluasan dan kawasan intervensi. Ancaman illegal logging yang cukup tinggi hingga ke SM Kerumutan berasal masyarakat dengan menggunakan Sungai Kerumutan dan sungai Kampar di Pelalawan, Sungai Batang Rengat dan Mengkuang di Inhu, serta  Sungai Gaung, Gaung Anak Serka dan sungai Terusan Siam  di Inhil.

 

2.      Perburuan Satwa liar: sumber ancaman akibat dari :

§         Kurangnya  pemahaman dan kesadaran masyarakat tentang perlindungan satwa liar

§         permintaan pasar gelap terhadap harimau sumatera, beruang, buaya, ikan arwana dan bagian tubuhnya sangat tinggi.

§         Lemahnya penegakan hukum

§         Tingginya konflik satwa dan manusia       

        Selain itu, perburuan satwa liar khususnya harimau sumatera cukup tinggi terutama di sepanjang sungai Gaung dan sungai Kampar karena terkait dengan adanya pembeli, akses dan tempat penjualan yang dekat seperti ke Malaysia dan Singapura. Dari sungai ini dengan naik pompong hanya satu malam sudah sampai ke Singapura dan Malaysia. Teridentifikasi ada 12 orang pemburu dan penadah harimau sumatera, 15 orang pemburu rusa dan babi (mangsa harimau). Pemburu mangsa harimau ini terkadang juga akan menangkap harimau jika kena jerat (YASA, 2005). Maraknya pemburuan harimau ini disebabkan oleh harganya yang tinggi, opsetan harimau rata-rata Rp.25 juta rupiah, dagingnya rata-rata Rp.80.100, dan bagian tubuhnya (mulai dari kumis, kuku, penis, tengkorak hingga kulitnya)  dari harga rata-rata 115.700 hingga rata-rata Rp18.342.900 tergantung jenisnya  (Traffic SEA, 2004)

 

3.      Kebakaran hutan dan lahan: rawannya terjadi kebakaran hutan di wilayah ini karena kawasannya gambut, jika terbakar sulit dipadamkan karena hingga ke bawah. Dsamping itu, berbatasan dengan kawasan SM terdapat areal konsesi yang diperuntukkan untuk HTI. Pembukaan kanal yang dilakukan oleh perusahaan HTI akan mempercepat proses keluarnya karbon, keringnya lahan dan menurunnya water tabel. Pada musim kemarau areal ini akan mudah terbakar. Disamping itu kebarakan juga terjadi akibat aktivitas illegal logging dan nelayan, namun faktor ini sangat kecil.

 

4.      Rencana Pembangunan jalan  Sorek – Teluk meranti-Guntung  yang memotong beberapa kawasan hutan di pinggiran SM Kerumutan. Fakta membuktikan bahwa pembukaan jalan akan mempercepat rusak dan hilangnya hutan karena menjadi aksses bagi illegal logging, pemburu satwa liar, dan permbah kawasan. Seperti juga terjadi ditempat lainnya seperti di Kawasan Tessonilo dan di Koridor Barat TNBT.

 

5.      Pembangunan kanal dan jalan oleh perusahaan HTI: akses ini akan dimanfaatkan oleh masyarakat untuk mengeksploitasi hasil hutan kayu/non kayu dari SM Kerumutan. Kenyataan yang terjadai perushaaan tidak akan mampu untuk mengamankan jalan dan kanalnya dari pemakaian masyarakat untuk memanfaatkan hasil hutan.

 1.3.2. Di dalam kawasan Perluasan dan Kawasan Intervensi 

           Kelima ancaman di atas juga merupakan ancaman bagi kawasan perluasan dan intervensi. Selain kelima ancaman di atas juga terdapat ancaman lainnya yaitu:

1.      Inkonsistensi kebijakan: sumber ancaman akibat dari:

§         Pemberian ijin yang tidak sesuai dengan peruntukan dan kelayakan (KLG)

§         pemberian ijin Bupati  untuk  HTI yang saat ini dalam proses verifikasi

§         Kurangnya komitmen Dephut dalam menjalankan verifikasi ijin HTI semi illegal.

§         kebijakan Dephut untuk mempercepat pembangunan HTI

§         Kecenderungan pemerintah provinsi dan kabupaten dalam mengembangkan perkebunan (2 juta ha)

§         peruntukan pengembangan sawit rakyat yang tidak tepat.

§         tidak sinkronnya penataan ruang provinsi dan kabupaten

§         lemahnya perangkat perundangan dalam mengatur perkebunan small holder

2.      Praktek Perkebunan kelapa sawit swasta/smallholder yang tidak berkelanjutan. Sistem kanal yang tidak memperhatikan aspek konservasi tanah dan air.

§         Praktek budidaya yang tidak ramah lingkungan (pestisida, herbisida)

§         Pembangunan perkebunan yang tdk peduli dengan kawasan HCVF.

§        Tdk taatnya perusahaan terhadap aturan kawasan yang seharusnya dilindungi contoh sempadan sungai, kedalaman gambut 4 meter.

§         Perusahaan tidak taat pada sop penangan konflik

masyarakat tidak memiliki penangan kebakaran hutan/konflik satwa dll

 

2.  Analisis GAP

Untuk Penyelamatan Kerumutan Lanscape  yang menjadi GAP adalah sebagai berikut:

1.    Informasi/Information : minimya informasi tentang social, ekonomi, budaya dan biologi terhdapa Kerumutan Landscape

2.    Sumberdaya/ Resources : rendahnya kapasitas: baik itu pengelola maupun NGO yang bermain di kawasan ini, belum dadanya komitmen bagi NGO dan semua stakeholder dalam penyelamatan Kerumutan Landscape, tidak adanya pendanaan dan keberlanjutan pengelolaan.  Networking ditambah dengan stakeholder enggagement

3.    Networking: kurangnya kerjasama dalam mengadvokasikan Kerumutan landscape dan stakeholder yang mendorong proses-proses.

4.    Legal and Institusional: sebelumnya belum ada suatu  mekanisme kerja advokasi dan pengelolaan penyelamatan Kerumutan landscape. Telah ada tor dan mekanisme yang dikembangkan, tetapi belum berjalan seperti yang diinginkan karen terkendala pendanaan.

 

3.  Rencana Tindak Lanjut Penyelematan Kerumutan Landscape

Yang menjadi Goal dari kegiatan ini adalah :

“Penyelamatan Ekosistem Hutan Rawa Gambut Kerumutan melalui Pembangunan Berkelanjutan”

 

Objective-nya adalah:

§ Penyelamatan kawasan (biodiversity) dan Perluasan  SM Kerumutan

§ Pengelolaan berkelanjutan di kawasan intervensi

 

Untuk mencapai goal dan objective tersebut dilakukan beberapa strategi yaitu:

1.    Mendorong stakeholders untuk menghentikan kegiatan illegal logging, perburuan satwa liar, kebakaran hutan dan lahan serta pembangunan jalan

2.    Meningkatkan pengetahuan dalam mengembangkan informasi  untuk menngkatkan kepedulian dari berbagai phak dalam penyelamatan SM Kerumutan

3.    Mengembangkan kapasitas dan jaringan kerja dalam mendorong penyelamatan SM Kerumutan

4.    Mendorong berbagai stakeholder untuk menerapkan pola-pola pengembangan dan pembangunan, prkatek-praktek pengelolaan kawasan intervensi sesuai untuk mendukung penyelamatan SM Kerumutan yang telah diperluas.

Adapun strategi yang dilakukan untuk mencapai objektive 1 (Penyelamatan dan Perluasan  Kawasan SM Kerumutan) yaitu:

1.    Penguatan informasi dan kajian akademik perluasan SMKerumutan, sebagai alat lobby dan advokasi

2.    Advokasi dan lobby ke stakeholders untuk mendorong dan mendapatkan dukungan formal perluasan SM Kerumutan dari pihak berwenang

3.    Memperluas dukungan kelompok pendukung perluasan kawasan SM Kerumutan

4.    Meningkatkan status SM Kerumutan menjadi kawasan biodiversity, carbon storage dan unique ecosystem

Strategi yang dilakukan untuk mencapai objective 2 ( Pengelolaan berkelanjutan di kawasan intervensi) adalah:

1.    Melindungi kawasan hutan bernilai konservasi tinggi dalam kawasan budidaya

2.    Mendorong penerapan praktek-praktek berkelanjutan dalam pemanfaatan kawasan hutan produksi dan kawasan budidaya

3.    Peningkatan kapasitas stakeholders dalam mendorong pengelolaan di kawasan intervensi

Kegiatan  yang dilakukan dalam waktu dekat /Short term activities untuk mencapai objective 1 adalah:

1.    Penguatan data dan informasi (lihat information gap)

2.    Lobby dan advokasi illegal logging, perburuan satwa liar, kebakaran hutan dan lahan, serta penggagalan pembangunan jalan

3.    Capacity building for stakeholders

4.    Riset Biofisik, sosial ekonomi (lihat information gap)

5.    Menyiapkan memo teknis dan draft perluasan SM Kerumutan

6.    Penggalangan dana

 Strategi yang dilakukan untuk mencapi objektif 3 adalah:

1.     Melakukan pengembangan kapasitas ke semua stakeholder dalam upaya penyelamatan Kerumutan Lanscape

2.     Membangun kampanye dan advokasi bersama dalam upaya penyelamatan Kerumutan Lanscape

3.     Membangun jaringan kerja dan mekonisme  ke berbagai pihak dalam upaya penyelamatan Kerumutan landscape

Strategi yang dilakukan untuk mencapai objektif 4 adalah:

  1. Mendorong perusahaan untuk melaksanakan praktek-praktek berkelanjutan dan prinsip-prinsip lestari, misalnya HCVF dan monitoringya, sertifikasi dll
  2. Meningkatkan kesadaran masyarakat dalam praktek-praktek pembangunan pertanian yang lebih arif dan bijaksana
  3. Mendorong pemerintah untuk membuat kebijakan  yang dapat mendukung upaya penyelamatan SM. Kerumutan yang diperluas, misalnya : RTRWP/RTRWK, untuk pemerintah pusat agar memberikan dukungan dan penerapan pembangunan yang tidak bertentangan dengan upaya konservasi SM. Kerumutan
  4. Memfasilitasi berbagai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat (ekonomi, lingkungan, pendidikan dll)  yang dapat mendukung upaya konservasi.

 

 

 

 

 

 

 Daftar Pustaka

 Birdlife International Red Data Book:  Threatened Birds of Asia. http://www.rdb.or.id/index.html

Charman, Daniel,J, et.al. 1994. Carbon Dynamics in a Forested Peatland in       North-Eastern Ontario Canada.  Journal of Ecology, Canada.

Danielsen F., and M. Heegaard. 1993. The impact of logging and forest conversion on lowland forest birds and other wildlife in Seberida, Riau Province, Sumatra. Rain Forest and Resource Management, Proceedings of NORINDRA Seminar – Jakarta, 25-26 May 1993.

Departemen Kehutanan, 1995. Petunjuk Pelaksanaan Tebang Pilih Tanam Indonesia. Jakarta.

Depsos RI, 1996. Laporan Suku Terasing di Provinsi Riau. Jakarta

Djohan, Tijut Sugandawaty, Jonotoro, Mangara Silalahi, Kokok Yulianto, Setiabudi, Zulfira Warta, Dani Rahadian and Agus Juli Purwanto.  October 2005.  Review of APRIL’s Rapid Internal HCVF Assessment of Mitra Kembang Selaris, Merbau Pelalawan Lestari, Mitra Taninusa Sejati, and Rimba Mutiara Permai Forest

CITES Species database. http://www.cites.org/index.html

 

Jennings, S., and J. Jarvie (with input from Nigel Dudley and Ketut Deddy). 2003. Case study – preliminary spatial analysis of biological HCVFs in Riau in A Sourcebook for Landscape Analysis of High Conservation Value Forests, Version 1. ProForest and WWF International, May 2003.

Jonotoro, 2005. Aspek Biofisik Hutan rawa Gambut Semenanjung Kampar. Jikalahari. Pekanbaru

Kecamatan Teluk Meranti, 2005. Data-data Penduduk di Kecamatan Teluk Meranti. Teluk Meranti, Pelalawan Riau.

Kuniyasu, Momose, and Shimamura T. (2002). Environments and People of Sumatran Peat Swamp forest II: Distribution of Villagers and Interaction Between People and Forests. South East Asian Studies, Vol.40, N0 1 June 2002 Pages 87-108.

Kurniawan, S dan Maharmansyar. Februari 2005. Study Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat di Semenanjung Kampar Kabupaten Siak. Jikalahari, Pekanbaru-Riau

Hardiono, M., Jonotoro, and Zulfahmi (2003). Identification of “Wasteland” in Riau. (WWF – Indonesia; AREAS Riau Programme: Jakarta) as cited in ProForest. 2006. HCVF Assessment of Two Concessions in Teso Nilo: Findings and Management Recommendations. Part 3: Appendices. August 2006. 156pp.

Istomo, 2005. Keseimbangan Hara dan Karbon Dalam Pemanfaatan Lahan Gambut Berkelanjutan. IPB. Bogor

IUCN Red List. http://www.iucnredlist.org/.

Mohammad Noor, 2000. Pertanian Lahan Gambut, Potensi dan Kendala.  Kanisius, Yokyakarta.

Ng Tian Peng & Ibrahim, 2001. Common Trees in Peat Swamp Forests of Peninsular Malaysia. FRIM, Kepong, Kuala Lumpur. Malaysia.

ProForest  2005. Landscape-Level assessment of hydrological & ecological values in the Kampar Peninsular ProForest. December 2005. 42pp.

 

ProForest. 2006. HCVF Assessment of Two Concessions in Teso Nilo: Findings and Management Recommendations. Part 3: Appendices. August 2006. 156pp.

 

Rainforest Alliance SmartWood Program. 2004.  High Conservation Value Forest (HCVF) Assessment Report Asia Pulp & Paper/Sinar Mas Group (Pulau Muda District), October 2004. 78pp.

 

Rainforest Alliance SmartWood Program. 2005.  High Conservation Value Forest (HCVF) Assessment Report for Serapung Unit, February 2005. 88pp.

 

Rainforest Alliance, and ProForest. 2003. Identifying, Managing, and Monitoring High Conservation Value Forests in Indonesia:  A Toolkit for Forest Managers and other Stakeholders, page 4

Silalahi, Mangara, 2000. Survey Potensi, Keberadaan dan Ancaman Suaka Marga Satwa Kerumutan. Belum dipublikasikan.

Silalahi, Mangara dan Goklan Sitorus (1999), Laporan Studi Persiapan Pemberdayaan Pendidikan suku Hutan di desa Selat Akar dan Desa Penyengat, Kecamatan Penyengat, Siak. WWF TNBT Project ID 117, Riau

Sitorus, Goklan, 1999. Suku Petalangan, Alam Sumatera dan Pembangunan vol.II No.7/Oktober 1999

Sudarmadji, 2002. Rehabilitasi Hutan Mangrove. Pusat Informasi Mangrove. Denpasar, Bali.

World Wildlife Fund Indonesia (WWF).  Eight Forest Blocks In Riau Province.

 

World Wildlife Fund (WWF) Indonesia and Wildlife Conservation Society (WCS) Indonesia. Fact Sheet:  Tiger Conservation Landscape Report: Indonesia. 2pp.

 





EXERCITATION

7 05 2008

EXERCITATION

Ullamcorper et suscipit lobortis vulputate velit esse molestie consequat vel illum sat dolor euismod tincidunt vel eum iriure dolor in esse. Ut laoreet dolore magna aliquam erat volutpat.

Ad minim veniam, quis nostrud. Hendrerit in atsvulputate velit esse molestie at consequat. Exerci tation ullamcorper suscipit lobortis vulputate velit. Ullamcorper et suscipit lobortis vulputate velit esse molestie consequat vel illum sat dolor euismod tincidunt vel eum iriure dolor in esse.

A venture of
Alam Sumatra Foundation
Jl.
Selumar 222/332
Pekanbaru 28294 – INDONESIA
tel/fax (61-761) 62143

E mail: alamsumatra@yahoo.com

WEEKEND ADVENTURES

I. CANOING with the FORREST PEOPLE

A journey into a truly different world can be accomplished in only three days, making it the ultimate weekend adventure. Participants take a Friday flight from Jakarta to Jambi and are brought to the Bukit Tigapuluh rain forest by 4-wheel drive vehicles. The drive into the forest along logging roads is an exciting one in varied terrain and ends at the edge of the national park. From there, a 3-4 hour walk with guides and porters leads to Datai, a hamlet of the Talang Mamak tribe at the headwaters of the Gangsal River.

During the walk visitors experience the magic of nightfall in the rain forest and continue by torchlight. The night is spent in the new communal meetinghouse in Datai with natural opportunities to talk with the Talang Mamak about their way of life or even buy some of their crafts.The next day and a half are spent going downstream passing through canyons with spectacular galleries of pristine rain forest and scattered Talang Mamak homesteads. Uniquely, the means of transportation are traditional log-canoes poled by Talang Mamak men. The river alternates between exciting but safe rapids and languid pools with sharp river bends offering rapidly changing vistas. This canoe trip offers a supremely panoramic view of the rain forest in all its diversity and beauty, and represents an extraordinary photographic opportunity.

In its cultural dimensions, the river is like a magical corridor snaking through the rain forest. Tracts of forest along the banks are sacred because they are abodes of spirits and deities, and so must be left undisturbed. Prominent rocks within the riverbed or on the banks are also sacred, each a focus of myths linking the present to the ancestral past. Past and present homesteads along the banks tell their own story of how temporary swidden fields have been opened and harvested, and then reclaimed by the forest. They exhibit the history of Talang Mamak families for those who can read it.

The night is spent more than halfway downriver in a settlement of traditional Malays, who do not differ greatly from the Talang Mamak in their way of life. The rainforest in these downstream parts is more marked by human intervention, with many trees and palms which over the generations have been selected for their usefulness.

On reaching the pick-up point outside the national park by mid-morning, visitors are driven across the Equator to Pekanbaru, where they catch the late afternoon flight to Jakarta.

 

II. TREKKING with the FORREST NOMADS

By far the most exotic experience to be had in Sumatra is a meeting with the Kubu, or Orang Rimba as they call themselves. These elusive forest nomads alternate between hunting and gathering wild resources and cultivating small clearings within the forest, which they abandon in the event of misfortune. Their avoidance of contact with outsiders is legendary. Because of relations of trust gradually developed over the past few years, it is now possible for visitors to meet these nomads in their own forest environment and experience directly their way of life.Arriving in Jambi on a Friday flight from Jakarta, visitors are driven to Bangko, a district capital in the interior of the province, where the night is spent in the comfortable Hotel Permata.

Next morning they set out by car for the Bukit Duabelas National Park. Having arrived at the forestís edge, the visitors continue on foot to a pre-arranged meeting place to join Rimba guides who accompany them deeper into the forest. The group follows the intricate network of enclosed trails used by the Rimba themselves and, uniquely, gets the insiderís view of the rain forest.The extraordinary knowledge that the Rimba possess of the forestís biological diversity is tapped directly to learn which of the living species along the trail are of special significance. Stopping now and then, the guides point out trees and plants utilized for tools, food or medicine and tell how these are prepared.

EXTENDED WEEKEND ADVENTURES

The weekend trips to Bukit Tigapuluh and Bukit Duabelas can be extended by a couple of days and nights to allow for a more relaxing trip and a wider experience of cultural and historical traditions. The first afternoon is then spent in Jambi travelling by speedboat down the great Batang Hari River to visit Muara Jambi, by far the largest temple complex between Java and the Asian continent.

The Buddhist temples, which are from the 10th to the 13th centuries, are late evidence of historical links with the Maritime Silk Road. This was the sea-based connection through the Malacca Strait between China and India, as well as the Middle East and Europe, as early as the 7th century. The Malacca Strait was then under the control of the Sumatra-based Srivijaya Empire. The temple complex thus points to the wealth generated by an ancient international trade. This trade included exotic rain forest products, such as dragonís blood and other resins, of which the forest tribes such as the Orang Rimba and Talang Mamak were, and still are, primary suppliers.

The trip on the Batang Hari passes by a floating village, its houses built on rafts. The old Arab quarters on the opposite bank are also visited with a stop and a shopping opportunity at the crafts and batik center. Jambi batik uniquely reflects chintz patterns from the cloth trade with India that flourished centuries ago. The night is spent at the splendid Tepian Ratu Hotel overlooking Lake Sipin, which is actually an old cut-off bend of the Batang Hari.

I. CANOING with the FORREST PEOPLE

Departure by car for the Bukit Tigapuluh National Park starts early to allow for a leisurely walk through the forest with arrival in Datai early enough to observe the scene and have ample opportunity to interact with the Talang Mamak. There is also an opportunity for a short forest trek with a Talang Mamak guide who demonstrates how some of the most important rain forest products for trade and own use are extracted from trees, palms and herbs.

The trip down the Gangsal River proceeds at a more relaxed pace, with opportunities to stop wherever desired to take pictures or look more closely at things that may be of special interest. The pick-up point outside the park is reached in the early afternoon the second day. After the drive to Pekanbaru visitors spend the night at the comfortable Mutiara Merdeka Hotel, whose attractions include a palm-fringed swimming pool and live entertainment, before returning to Jakarta on a flight the next morning.

II. TREKKING with the FORREST NOMADS

The drive to upstream Jambi is via the longer northern route along the mainstream of the Batang Hari before turning south along the Sumatran Highway. A special detour is made to the Karang Berahi village on the Merangin River to witness the amazing curse stone placed there in the 7th century by the Srivijaya Empire
to intimidate its upstream subjects. In surprising ways this ornately inscribed stone, the text of which is in archaic Malay, is connected with the culture of the Orang Rimba.

The trek through the forest with the Rimba proceeds as described for the shorter weekend trip, except for the second day in the forest. Because there is no need to catch an afternoon flight, the trek will be more leisurely with more ample opportunities to observe things of special interest, such as the chewing gum tree, the dragonsí blood palm, gutta-percha plastics tree, or the enormous honey tree, to mention but a few of the marvels of the rain forest.Driving back to Jambi in the late afternoon allows for a relaxing evening and a morning by the pool at the Tepian Ratu Hotel, before taking the midday return flight to Jakarta.
 

 

EXPANDED ADVENTURES

Rather than returning to Jakarta from Pekanbaru or Jambi after visiting the national parks, those who can take a full week off can continue right across Sumatra and fly back to Jakarta from Padang on the west coast. This option provides maximum value for the air travel to and from
Sumatra.

I. Continuing from “CANOING with the FORREST PEOPLE”

After resting one night in Pekanbaru, visitors set out across the plain to reach the foothills of the Barisan mountain range, where they stop at the giant Koto Panjang hydroelectric dam before continuing by boat on the artificial lake. This hour-long boat-trip passes through a weird world of dead sunken forests and submerged villages, before emerging at the end of the lake in the 13th century, as it were. There, seemingly in the middle nowhere, lies the mystery of Muara Takus, a large Buddhist temple, now partly rehabilitated.Picked up by the car at Muara Takus, the group proceeds through an exceptionally scenic landscape: across the foothills, through deep valleys, and over the high mountain pass to the Minangkabau Highlands with a special side trip to the Harau Canyon. The sheer, seemingly painted cliffs, with waterfalls cascading from the edges, are one of the most aweinspiring sights in Sumatra.

The night is spent in Bukittinggi, the well-known cultural center of the Minangkabau. The Minangkabau are a people organized in matrilineal clans, whose grand houses with their horned gables are a prominent feature of the landscape. Bukittinggi has a number of attractions, including silversmith crafts, which can be sampled before leaving the next day for the west coast, some 3 hours’ drive away.The last stage of the journey begins between the imposing cones of the Merapi and the Singgalang volcanoes, both of which are active. It then continues down the western escarpment through the famous Anai Gorge, the ancient passageway between the coast and the highlands. Near Padang, the road turns south around sandy bays and high headlands where the Barisan Mountains jut right into the Indian Ocean. The trek ends on Sikuai Island, which is part of one of the most scenic coastlines in Sumatra.

The visitors stay at a picturesque two-star resort on Sikuai, which has excellent beaches all around the otherwise uninhabited 40-hectare island, as well as a large swimming pool. After a couple of daysí relaxation, visitors return to Jakarta via Padang airport.

II. Continuing “TREKKING with the FORREST NOMADS”

Rather than returning to Jambi from the forest trek, visitors spend the night in Bangko to make the journey next morning up the steep winding road to Kerinci. This road follows the rim of the deep canyon formed by the Merangin River, whose wellspring is Lake Kerinci. En route a detour may be made to the Tiangko Panjang Cave, one of only a few sites in Sumatra with remnants of stoneage hunters and gatherers. It is a fascinating fact that the more than 10.000 year old remains of stone-age food excavated in the cave are identical to those left behind by the Rimba in their camps, some of which are found nearby.Once in the Kerinci valley, the drive continues north to the Kayu Aro plateau at about 1500 meters above sea level where the massive volcanic cone of Mount Kerinci rises to a height of 3800 meters. This is the highest summit not only in Sumatra but also in all of Indonesia outside Papua. For those who are fit, this is an opportunity to ascend Mount Kerinci. To do so, the group checks into a homestay to rest until nearly midnight. The ascent, which takes about 5-6 hours at an easy pace, is done at night by torchlight in order to meet the sunrise at high altitude and enjoy the amazing early morning view. This is an option that adds a day to the program, or alternatively reduces a day spent on Sikuai Island at the end of the journey.

The standard program offers an excellent and less strenuous alternative, a trek through the mountain forest to the large lake that fills the Mount Tujuh crater at about 2000 meters a.s.l.. Both Mount Kerinci and Mount Tujuh are part of the Kerinci-Seblat National Park, one of the largest conservation areas in Indonesia. Trekking to Lake Tujuh is accomplished after arrival from Bangko in the afternoon. (Group members awaiting the return, the following afternoon, of others who have gone up Mount Kerinci may do the Lake Tujuh trek in the morning.) The night is spent in a hotel in Sungai Penuh, a busy market town, which is also the capital of Kerinci district.The tour through the Kerinci highlands is spectacular and interesting enough even without the walk to the top of Mount Kerinci or to Lake Gunung Tujuh. The Kerinci valley itself strikingly widens into a flat pan with wet-rice fields, rimmed by a wall of steep mountains. The valley is home to a distinctive culture which is based, like that of the neighbouring Minangkabau, on lines of descent and inheritance passing through females.

A magnificent view of the valley and the mountains surrounding it can be had in the morning when leaving for the coast along the road that climbs to the top of the western rim. From there the road descends spectacularly through the pristine rain forests of the Kerinci-Seblat National Park. The route north then follows the seaward edge of the narrow coastal plain to the hilly headlands where Sikuai Island is located. The trip ends, like the one from Pekanbaru via Bukittinggi, with a couple of dayís relaxation at the beach resort on that island, before the return to Jakarta is made via Padang airport.